Belajar dari Kritik

Hari ini, 3 Mei 2025, menjadi salah satu hari yang cukup membekas dalam perjalanan akademik saya di mata kuliah Komunikasi Pembangunan dan Perubahan Sosial yang diampu oleh Ibu Serepina Tiur Maida. Pada pertemuan ke-7 ini, seluruh mahasiswa diminta untuk menyampaikan progres tugas Ujian Tengah Semester (UTS), yakni membuat artikel bacaan ringan yang telah ditugaskan sejak beberapa waktu lalu.

Saya menjadi mahasiswa pertama yang maju untuk melaporkan progres tugas saya. Namun, kenyataannya, artikel yang saya susun masih jauh dari kata layak untuk dipublikasikan. Menurut penilaian Ibu Serepina, artikel saya perlu banyak perbaikan mulai dari judul hingga isi kontennya. Saya pun menyadari hal tersebut. Draf artikel yang saya buat memang masih mentah, terburu-buru, dan belum menunjukkan kedalaman berpikir yang seharusnya dimiliki dalam sebuah tulisan.

Meski kritik yang saya terima cukup tajam, namun cara penyampaian Ibu Serepina sangat bijak. Beliau tidak hanya mengkritik, tetapi juga memberikan arahan, solusi, tips, bahkan motivasi yang sangat membangun. Alih-alih merasa dijatuhkan, saya justru merasa tercerahkan. Saya jadi tahu apa yang salah dari tulisan saya, dan lebih penting lagi, saya jadi tahu apa yang harus saya lakukan ke depannya.

Salah satu pesan yang sangat membekas adalah ketika beliau mengatakan bahwa kunci dari menulis artikel yang baik adalah rajin membaca. Menurut beliau, membaca adalah bahan bakar utama dalam proses menulis. Dengan banyak membaca, wawasan kita akan bertambah, diksi kita menjadi lebih beragam, dan pola berpikir kita menjadi lebih sistematis. Artikel yang baik bukan hanya sekadar panjang tetapi juga harus memiliki nyawa dan memberikan manfaat bagi pembacanya. Ketika artikel kita disukai dan dikutip oleh banyak orang, di situlah letak kontribusi nyata kita dalam dunia keilmuan dan sosial.

Dalam pertemuan tersebut, Ibu Sere juga memberikan contoh sederhana namun sangat menarik. Beliau memperlihatkan sebuah foto "manusia silver" yang sedang duduk di pom bensin. Dari satu gambar itu saja, beliau bisa menjabarkan berbagai persoalan sosial, ekonomi, hingga simbolisasi yang melekat pada fenomena tersebut. Ini menjadi contoh konkret bagaimana seseorang yang terbiasa menulis dan membaca mampu melihat makna yang lebih dalam dari sesuatu yang tampak sederhana.

Pertemuan hari ini menjadi sangat bermakna secara pribadi. Saya sadar bahwa menulis bukan sekadar kewajiban akademik, tetapi merupakan proses belajar yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan niat untuk terus berkembang. Kritik yang saya terima hari ini bukanlah akhir, tetapi justru awal dari proses perbaikan yang lebih serius.

Saya sangat berterima kasih kepada Ibu Serepina yang tidak hanya mengajar secara teoritis, tetapi juga memberikan pembelajaran moral yang membumi dan menyentuh sisi manusiawi kami sebagai mahasiswa. Semoga saya bisa memperbaiki artikel saya dan menjadikannya lebih baik dari sebelumnya tidak hanya untuk nilai, tetapi juga agar bisa menjadi bacaan yang bermanfaat bagi orang lain.

Nama: Riko Yulianto NIM: 233500040003 Universitas Mpu Tantular Jakarta Komunikasi Pembangunan dan Perubahan Sosial Dosen Pengampu: Serepina Tiur Maida, S.Sos.,M.Pd., M.I.Kom

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesan Simulasi Public Speaking: Kegiatan Yang Harus di Lakukan Secara Rutin

Pentingnya Kesadaran Terhadap Kejahatan Daring dan Komunikasi di Era Digital: Refleksi dari Dua Podcast